Altruisme

Oleh : Muhammad Sholeh*)




Sadar atau tidak, teori kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht) milik Friederich Nietzsche (1844-1900) telah benar-benar dipraktekkan secara negatif oleh kebanyakan masyarakat kita. Kehendak berkuasa masyarakat kita lebih bersifat personal dan cenderung pada penafian terhadap yang lain. Bukan menjadi dorongan psikologis yang bersifat komunal dan berorientasi pada kebangkitan bersama yang universal.

Teman-teman wartawan tertawa-tawa, atau paling tidak tersenyum menyaksikan guntingan koran hasil tulisan sesama wartawan yang ditempel di dinding tempat penyebar kabar itu biasa berkumpul. Sepele, gara-gara ada satu kata yang digunakan secara serampangan oleh si penulis; Altruisme.

Bisa jadi mereka tertawa karena diksi dan penempatannya yang terasa 'wagu', atau bisa jadi juga mereka tertawa justru karena tidak mengerti maksudnya. Atau, ini yang menghawatirkan, mereka malah menertawakan maksud dari kata altruisme yang sebenarnya memiliki nilai ideal yang luhur.

Altruisme atau dalam bahasa inggris; altruism, memiliki arti mementingkan kepentingan orang lain. Bahasa Arab modern menyebutnya Al Ghairiyyah yang artinya kurang lebih sama; menyukai orang lain. Altruisme biasa dikontradiksikan dengan kata egoisme yang lazim dimaknai mementingkan diri sendiri. Kata ini, tentu saja menurut saya, adalah ungkapan atau verbalisasi atas suatu perilaku dan sikap (behavior and attitude), bukan sekedar perbuatan (deed).

Toh, seandainya teman-teman wartawan memang menertawakan makna sesungguhnya dari kata altruisme, bukan kemudian menjadi sesuatu yang asing. Pemandangan kehidupan sosial dan politik yang dimiliki masyarakat kita sekarang sudah cukup membuat aksi teman wartawan hanya sebagai riak kecil dari serangkaian gelombang besar yang membinasakan.

Juga tidak mengagetkan, karena setiap saat mata ini menjadi saksi dari ego pribadi yang selalu memenangi. Sewaktu BLT diluncurnkan, masyarakat kita berlomba menjadi orang yang paling kere. Ketika sakit dan harus dirawat inap, tiba-tiba seorang juragan berkecukupan mendadak melarat dan membutuhkan uluran tangan. Program LPG pengganti minyak tanah, seketika semua mengaku berpenghasilan rendah.

Para pemimpin juga banyak yang tidak jauh berbeda. Perebutan pengaruh dan kekuasaan, telah membuat lupa bahwa mereka sebenarnya sedang menjadi panutan bagi rakyatnya. Lupa bahwa mereka juga rakyat, ribuan politisi berlomba membohongi rakyat. Lusinan tokoh agama yang seharusnya manditha, juga lupa, beramai dan berlomba mengejar amanat. Miris.

Lupa dan alpa begitu mudah tiba, bahwa di luar diri sendiri terdapat jutaan diri lain yang memiliki eksistensi yang sama. Kesetaraan dan kesamarataan begitu mudahnya diartikan; kamu dapat saya juga harus dapat. Diri ini lebih agung, lebih berhak dan lebih mulia dari lainnya. Dan oleh karenanya, berhimpit, berjubel, berdesakan dan hampir tidak ada ruang untuk tepaslira.

Altruisme yang sebelumnya menjadi corak Indonesia, bahkan agama, sekarang hanya sisa-sisa. Petuah bertuah yang dipesankan Raden Qasim, lebih dikenal dengan Sunan Drajat, sejak 539 tahun yang lalu, telah hampir memudar. Sudah sedikit yang peduli dengan pesan; berikan tongkat kepada orang buta, berikan makanan pada orang lapar, berikan pakaian pada orang telanjang dan berikan tempat berteduh pada orang yang kehujanan.

Sadar atau tidak, teori kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht) milik Friederich Nietzsche (1844-1900) telah benar-benar dipraktekkan secara negatif oleh kebanyakan masyarakat kita. Kehendak berkuasa masyarakat kita lebih bersifat personal dan cenderung pada penafian terhadap yang lain. Bukan menjadi dorongan psikologis yang bersifat komunal dan berorientasi pada kebangkitan bersama yang universal.

Kita masih belum bisa seperti sejarah orang-orang Yunani yang -karena kuatnya dorongan kehedak berkuasa- dengan gemilang membangun kebudayaan dan tradisi keilmuannya. Atau, jangan-jangan kita masih seperti sejarah bangsa Jerman yang -dengan menggunakan teori Nietzsche sebagai legitimasi akademiknya- meneriakkan slogan Deutschland Deutschland uber Alles.


*) Penulis adalah kader muda NU dan Sekretaris DKC Garda Bangsa Kabupaten Jombang

0 comments: