Catatan Pileg 2009
POLITIK UANG SEBAGAI 'PEMBERONTAKAN' RAKYAT

Oleh : Muhammad Sholeh*)




Rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu memang tidak selalu mengartikan kegagalan proses demokratisasi. Amerika yang dikenal sebagai ikon demokrasi saja, pada Pemilu 2006 hanya dihadiri oleh 36,5% pemilih. Persoalan tidak terletak pada tinggi rendahnya kehadiran, tapi perubahan pola perilaku pemilih. Mengedepankan politik uang dan menjatuhkan pilihan politik tanpa pertimbangan serius, sangat membahayakan kelangsungan kehidupan politik di tanah air.


Pemilu kemarin seperti lebaran. Begitu seorang teman menggambarkan hiruk pikuknya masyarakat pemilih, juga para Caleg dan tim suksenya, menjelang detik-detik pemungutan suara. Layaknya hari raya, masyarakat pemilih berubah menjadi anak kecil dan berharap mendapat angpao dari para Caleg. Jalanan ramai, pos kamling dan gang-gang penuh dengan warga yang menanti datangnya pembagi uang. Layaknya hari raya, suasana begitu ceria sekaligus mendebarkan.
Keesokan harinya, paska penghitungan surat suara, suasana berubah seratus delapan puluh derajat. Senyum manis dan obral janji para Caleg tidak ada lagi. Masyarakat pemilih kembali pada rutinitas kesehariannya. Para Caleg yang sebelumnya cukup ramah dan tidak bisa marah, berubah menjadi sejenis preman penagih hutang. Mereka murka dan berubah garang karena perolehan suaranya tidak sesuai dengan besarnya uang yang telah ia keluarkan.
Ya, Pemilu legislatif 9 April 2009 menjadi tamparan keras bagi partai politik dan para Calegnya. Parpol dan Caleg dibuat bulan-bulanan oleh perilaku pragmatis masyarakat pemilih. Meski sudah menerima uang dari caleg -bahkan dalam banyak kasus satu pemilih menerima uang dari 3 hingga 5 Caleg berbeda- tingkat kehadiran di TPS masih juga rendah.
Ada semacam spirit balas dendam pada Pemilu kali ini. Masyarakat pemilih yang selama lima tahun sebelumnya tidak pernah 'disapa' oleh Parpol, merasa jengkel karena tiba-tiba dihadapkan pada pentingnya mendukung Parpol demi tercipatanya pemerintahan yang, katanya, membela kepentingan rakyat. Rasa muak seketika meletus, dan memperdayai Parpol atau Caleg adalah satu-satunya cara yang rakyat bisa.
Dihadapkan pada cita-cita luhur membangun demokratisasi di tanah air ini, situasi demikian tentu sangat ironis. Harus segera direspon dan tidak boleh berlarut-larut. Jangan sampai kejengkelan dan kemuakan berubah menjadi ketidakpercayaan akut terhadap Parpol. Harus ditanamkan bersama, Parpol hingga saat ini masih menjadi institusi penting dalam proses berbangsa dan bernegara.
Rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu memang tidak selalu mengartikan kegagalan proses demokratisasi. Amerika yang dikenal sebagai ikon demokrasi saja, pada Pemilu 2006 hanya dihadiri oleh 36,5% pemilih. Persoalan tidak terletak pada tinggi rendahnya kehadiran, tapi perubahan pola perilaku pemilih. Mengedepankan politik uang dan menjatuhkan pilihan politik tanpa pertimbangan serius, sangat membahayakan kelangsungan kehidupan politik di tanah air.
Perlu ada penyikapan yang bijaksana terhadap perubahan perilaku pemilih tersebut. Pragmatisme pemilih harus bisa dibaca sebagai 'pemberontakan' grass root terhadap Parpol yang selama ini dirasa statis dan jumud. Juga sebagai balas dendam atas perilaku tidak bermoral (korupsi, cabul dan lainnya) yang seringkali dipertontonkan oleh sebagian oknum parlemen dan Parpol. Yang terjadi selama ini, kehadiran Parpol sama sekali tidak dirasakan oleh pemilih selain ketika waktu sudah mendekati pelaksanaan Pemilu. Juga, teladan kesalehan sosial dan politik yang semakin memudar.
Oleh karena itu, butuh revitalisasi peran dan fungsi Parpol untuk bisa mengambil kembali kepercayaan dari rakyat. Juga koreksi terhadap perilaku politisi. Harus ada rumusan dan inovasi baru yang kongkrit, sehingga kehadiran partai betul-betul dirasakan oleh rakyat. Ini penting karena interaksi dan komunikasi politik Parpol selama ini masih bersifat elitis dan ekslusif. Hanya berlaku di sekitar kader dan pengurus partai, tidak sampai menyentuh langsung kepada akar rumput.
Dalam konteks ini, konsepsi 'day to day politic' menjadi sangat penting. Parpol menghadirkan dirinya tidak hanya setiap menjelang Pemilu, tapi setiap saat selama lembaganya masih eksis. Pendidikan politik sebagai salah satu kewajiban dan tujuan Parpol, sebagaimana diamanatkan UU Parpol No. 2 tahun 2008, harus bisa diaplikasikan secara baik dan tepat.
Tidak hanya itu, fungsi dan peran pembangunan civil society yang selama ini terkesan didominasi oleh LSM, menjadi bidang dan pola garap yang patut dipertimbangkan. Tidak tabu sebenarnya, karena partai sendiri adalah organisasi di luar pemerintahan atau NGO. Satu elemen milik partai yang masuk dalam pemerintahan hanyalah fraksi, sementara partai sendiri tetap Non Goverment Organization.
Diskusi dengan Winfried Weck, resident representatif Konrad Adenauer Stiftung di Indonesia, bersama rekan-rekan LSM di Yogya setahun yang lalu, ada kesimpulan yang sedikit menggelitik. Parpol di Indonesia, masih belum bisa mengoptimalkan peran dan fungsinya. Fokus dan konsentrasinya masih pada merebut kekuasaan secara membabi buta tanpa mendahulukan infrastruktur dukungan secara mapan. Ada yang terlupakan, bahwa Parpol adalah bagian dari civil society.
Merebut kekusasaan tentu saja tetap dimaklumi sebagai target utama Parpol. Namun demikian, target tidak akan bisa dicapai secara optimal tanpa memperhitungkan terpenuhinya instrumen yang mendukungnya, termasuk harmoni dan langgengnya komunikasi Parpol dengan pemilihnya. Penting untuk di catat, sejak terbukanya keran demokrasi paska runtuhnya Soeharto, belum ada Parpol yang berhasil mempertahankan kekuasaannya.

*) Penulis adalah kader muda NU dan Sekretaris DKC Garda Bangsa Kabupaten Jombang

2 comments:

April 12, 2009 at 12:12 PM Unknown said...

Saatnya Parpol dan pemerintah perhatikan rakyat. Sudah terlalu lama kemakmuran rakyat ini dibelenggu oleh ketidakpedulian mereka !

April 22, 2009 at 3:05 PM Unknown said...

Memang begitu oknum parpol, ramahnya pada rakyat hanya pada saat pemilu. setelah selesai pemilu, selesai pula ramah-tamahnya...